Mutiara

Mutiara

"Hijab bukan untuk mempercantik dirimu, agar kau dilihat oleh mata lelaki. Justru hijab seharusnya untuk menjaga dirimu, dari menjadi pusat perhatian".

  Kau adalah mutiara. Sikapmu adalah berlian seribu karat. Tanpa kau tampakan dirimu pun kau tetap mutiara.
  Coba bayangkan jika mutiara yang begitu berharga di biarkan begitu sahaja, tanpa ada yang melindungunya, tanpa ada yang menjaganya, di perlihatkan kepada semua orang seolah-olah boleh di sentuh oleh semua orang. Sama kah mutiara yang seperti itu dengan kutiara yang dijaga di tempat yang terlindungi dan hanya boleh di lihat oleh pemiliknya saja? Tentu saja beda.

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59).

    " Islam ada untuk melindungi wanita, bukab untuk memaksanya"

" sesungguhnya allah maha penyayang lagi maha pengampun"

KAU TETAP YANG TERINDAH


 Subang tetap yang terindah. Meski berjuta masalah sedang di hadapai. Mulai dari sang bupati yang di tahan KPK karna korupsi. Merambat ke sektor pelayanan kesehatan yang buruk, karena dana BPJS yang gak kunjung turun. Sektor pendidikan pun tak jauh beda, bahkan sampai tak bisa di gambarkan, saking buruknya. Para pengajar PNS yang sering bolos, juga pungli yang berkeliaran. Ah sudahlah. Tak akan ada hentinya mulut ini membicarakan buruknya sistem pelayanan di kotaku. Tapi subang tetap kota yang terindah. 
  Udara sejuk khas perkampungan masih terasa. Kebun teh terhampar hijau di bukit-bukit permai. kabut tebal mengisi setiap lapisan udara. Sejuk. Ku hirup udara pagi yang masih bersih, lalu ku hembuskan dengan lega.
  Aku masih ingat persis waktu itu. Permainan yang paling ku gemari ketika berkunjung ke rumah neneku. Tempat neneku tak terlalu jauh dari rumahku di kota kabupaten. Hanya satu jam perjalanan menggunakan angkot. Perkampungan itu terletak di antara hutan bambu, lebih tepatnya di sebuah lembah yang lebat dengan pohon bambu. Rumah-rumah yang ada di sana juga semuanya terbuat dari bambu. Namun bukan itu yang membuat kunjunganku ke rumah nenek selalu ku rindukan. 
  Permainan seluncur bambu. Ya. juga kawan-kawan lamaku dalam permainan seluncur bambu. Permainanya sih sederhana. Cukup hamparkan potongan bambu, lalu susun rapat seperti menyusun pagar. tak perlu pakai ban. Seluncur bambu siap di luncurkan. 
  Kami bergegas dengan membawa seluncur masing-masing. Berjalan menanjak di antara pepohonan bambu. Tanah sudah tak terlihat lagi, tertutupi dengan daun bambu kering yang terjatuh dari tangkainya. Tapi justru itulah yang membuat seluncur meluncur dengan lebih cepat. Biasanya permainan di lakukan lebih dari tiga orang, biar terasa lebih kompetitif. Siapa yang sampai di garis finis duluan, ialah pemenangnya. Lima driver telah siap di posisinya masing-masing. Aku diposisi kedua dari kiri. kaki ku  sudah siap berjongkok di atas seluncuran. " tiigaaaa.. duuaaa..  mulai!!!" Lima seluncur langsung melesat ke depan, menyongsong turunan dengan kemiringan tiga puluh derajat. Seluncuran tak hanya meluncur lurus. Sesekali berbelok menghindari pohon bambu yang bertengger. Tak heran jika di antara kami ada juga terjatuh. Temanku yang di sebelah kiri sudah terjengkang saat berbelok tadi. Tinggal berempat yang tersisa di arena balap seluncur bambu. 
   Ini benar-benar mengasyikan kawan. Kau tau ? Bahagia itu tak perlu mewah, cukup menikmati apa yang ada, maka apa yang ada takan pernah mengecewakanmu. Tapi permainan ini belumlah selesai, masih ada beberapa meter lagi untuk menyelesaikan permainan. Aku menggaruk-garuk tanah untuk meningkatkan kecepatanku. Tapi percuma. Mereka terlalu jauh di depanku. Finis. Lalu menjatuhkan tubuh ke tanah. Tertawa senang. Yeeeah. Tak peduli siapa yang menang karena kami akan selalu bahagia. Lantas merayakan kemenangan dengan menceburkan diri ke kali yang air nya begiiiitu jernih.
 Subang akan selalu terindah. Walau tak terdengar namanya dari luar. Tentu saja iya. Karena di kota itulah segala cerita yang indah di mulai.
  
Kota kecil yang tertinggal.   
  


DETIK TERAKHIR

DETIK TERAKHIR

  Waktu itu ibarat hujan. Memberikan harapan akan kehidupan di masa depan. Namun waktu juga ibarat hujan. Menghancurkan segala kenangan yang pernah ada tanpa tersisa. Bukankah itu wajar? Di setiap harapan juga terdapat ancaman. Harapan itu bukanlah landasan untuk mengukur masa depan. juga tantangan bukanlah penghalang untuk meraih kesuksesan.
  Kadang manusia itu suka aneh, fikirannya bersusah payah menerka-nerka apa yang akan terjadi padanya di kemudian hari. Hingga akhirnya ia resah. Hidupnya tak bahagian. Berambisi mengubah sesuatu yang belum tentu juga terjadi. Ya, manusia itu benar-benar aneh. Bagaimana tidak? Padahal apa yang telah berlalu takan pernah terjadi lagi. Fikirannya sibuk dengan kenestapaan  yang pernah terjadi di masa lalu. Hingga batinnya tak pernah bahagia. Jiwanya lelah merenungi apa yang telah terjadi. Matanyapun menangis akan sesuatu yang takan pernah kembali.
Waktu, tak ada yang salah denganya. Hanya saja manusia terlalu bebal untuk memahami kalau waktu itu hanyalah di detik ini ia terjadi.
    
                 *** 
  Apa salahnya jika kita merancanng masa depan? Apa salahnya jika kita tulis cerita masa lalu?
SALAH! Buang semua rancangan masa depan di buku harianmu. Hilangkan segala cerita yang pernah terjadi di masa lalumu. BUANGLAH segala rancangan masa depanmu, jika kau meyakini kau bisa mengalahkan rencana tuhan. BUANGLAH jika itu membuatmu terpuruk saat hari tak sesuai dengan rencanamu. BUANGLAH jika itu hanya sia-sia yang membuat khayalanmu terbang ke masa depan yang belum tentu juga terjadi.
   Apa salahnya...? Ya, apa salahnya-?
SALAH, jika masa lalumu melarutkanmu dalam khayal dan penyesalan.

   KARNA YANG TERPENTING BUKANLAH KEMARIN ATAU ESOK.

  TAPI DETIK INILAH, BERBUAT YANG TERBAIK UNTUK DETIK INI.
MANFA'ATKANLAH DETIK INI KARNA ESOK BELUM TENTU TERJADI.
MAKSIMALKANLAH DETIK INI KARENA YANG LALU TAKAN PERNAH KEMBALI.

KARIMA  2.

KARIMA 2.

   Perjalanan yang sedang kita jejaki ini sesungguhnya adalah sebuah proses pembelajaran yang sebenarnya. Kalian pernah dengar ungkapan seorang Motivator yang bunyinya seperti ini
"jangan tertipu sama orang yang kebetulan sukses tapi gk sekolah, kalo pengen sukses ya harus sekolah"?
Pernah denger? Pernah ? itu lho yang selalu bilang " super sekali..." nah tau kan? Gimana menurut kalian? Super bukan? Eits, tapi ketahuilah kawan, bahwa yang hebat itu tak selalu tampak. Yang terlihat hanyalah cangkangnya saja. Sedangkan kehidupan ini adalah kelas yang nyata tapi tak tampak. Bukan karna tak terlihat oleh mata, tapi karna seringkali kita abai dan tak peduli.
  Kalian pernah dengar tentang kisahku bukan? Itu lho yang kemarin di ceritain sama si Rizki di cerpenya yang berjudul KARIMA. Tau kan?
  Namaku Karima, teman-teman dekatku sih biasanya memanggil aku dengan nama Rima , dan seperti itulah adanya kisahku. Tak berlebih. Hanya saja kisah itu belum genap menceritakan apa yang terjadi padaku, sedangkan yang tak terlihat itu lebih besar pengaruhnya dari pada yang tampak.
  Saat itu langit malam yang tak bersaput awan, menyibakan rentetan rasi bintang yang berkerlap-kerlip. Namun tak ku hiraukan sedikitpun yang ada di atas sana. Aku terlalu sibuk  dengan apa yang tengah  menusuk-nusuk hatiku, sibuk dengan hatiku yang telah robek terhancur-hancurkan, sibuk mencari-cari siapa pelakunya, namun tak ku temukan kecuali diriku sendiri. Akulah yang merobek-hancurkan hatiku yang tersayat luka. Hanya aku.
    Kakiku berdiri tegap di atas jembatan penyebrangan. Tanganku memegang pagar besi di pingirnya. Sementara mataku yang telah basah dengan linangan air mata menatap kedepan dengan kekosongan yang tanpa harapan. Ku lihat di bawah, kendara'an berlalu-lalang dengan kecepatan yang tinggi. kalau saja ada orang yang tertabrak ,mungin ia akan terpental sepuluh meter ke depan lalu mati, fikirku.
   Ya mati, Hidupku sudah tak bermakna lagi. Kebahagiaan sudah hilang tak ada yang tersisa. Semua orang seolah tak peduli lagi padaku. Bahkan Tuhan pun seperti tak pernah melihatku. Aaahk, aku benci dengan diriku sendiri. Semua yang telah ku usahakan seoalah tak ada arti. Semua prestasiku, segala perjuanganku. Tapi, bukankah memang aku selalu sendiri. Tak pernah ada yang tulus menemaniku. Mereka hanya ada di sisiku untuk kesenangan mereka saja. Ya, dari dulu aku memang selalu sendiri.
   Tiba-tiba Memoryku teringat masa-masa kecilku. Aku tinggal sendiri di rumah besar berlantai dua. Di temani pembantu juga tukang kebun. Orang tuaku sudah bercerai semenjak aku bisa mengingat sesuatu. Dan aku tinggal bersama ayah ku, lebih tepatnya tinggal di rumahnya bukan bersamanya karna ayahku selalu pulang larut malam, itu pun seminggu sekali. Lalu dengan ibuku,,, entahlah, aku tak pernah melihatnya dan tak tau ia ada di belahan bumi yang mana. Setiap hari aku selalu sendiri, selalu rindu belai kasih dari seorang ibu. Kapan aku bisa seperti kalian yang selalu bersama dengan orang yang kalian sayangi. Bahkan ketika harus sekolah pun aku selalu sendiri. Sekolah di rumah.
  Fikiranku melesat mengingat-ngingat ketika usiaku menginjak tujuh belas. Mulai memiliki teman. Saat itu aku sudah kuliah di amerika. Aku adalah mahasiswi termuda waktu itu. Namun teman-teman ku tak mampu mengusir kesepianku. Hatiku tetap tak bertaman ramai, walau hidupku di kelilingi banyak teman.
                           ***
    Malam semakin larut. Kendaraan yang berlalu-lalang mulai senggang. Tanganku mencengkram besi pagar jembatan dari belakang. Tubuhku sudah berada di bagian luar pagar jembatan. Sementara kakiku bertumpu pada lantai jembatan yang tersisa. Ku lihat di depan mobil truk melaju dengan kencang.
   Mungkin inilah waktunya aku mengakhiri hidupku. Aku sudah tak tahan lagi dengan tekanan yang sedang menimpaku. Mobil truk di depan sudah dekat.inilah waktunya.  Ku langkahkan kakiku sembari melepaskan cengkraman tanganku. Entahlah seperti apa rasanya saat itu. Ketika tubuhku melayang siap di hantam truk yang tengah melaju kencang. Tiba-tiba hatiku merasa bersalah. Ada sedikit penyesalan yang tersirat. "Ouh tuhan berikanlah aku kesempatan".
   Sebercik harapan itu muncul. Tuhan memang maha mendengar apa dang di di bisikan hambanya. Seseorang dengan rambut acak-acakan yang kebetulan lewat, sedari tadi telah memperhatikan gerak-gerikku. Ia berlari cepat ketika aku mulai bersiap untuk loncat. Dan tangannya dengan sigap mencengkram tanganku yang sudah pasrah seolah tak ada harapan. Kemudian di tanganku ditariknya hingga sampe ke atas. Terlambat saja satu detik mugkin aku hanya tinggal nama.
   Tuhan itu selalu ada dimana pun kita berada, walau di dalam malam yang gelap di atas batu yag hitam legam, tuhan selalu memperhatikan. Hanya saja kita yang terlalu angkuh untuk mengakuinya.
   Lelaki dengan rambut acak-acakan itu kini berdiri di depanku. Matanya seola keheranan menatapku. Aku malu untuk menatapnya. Di mataku masih tergerai air mata. Aku juga malu untuk mengakui kalu dialah malaikat penolongku.
" loe ngapain ikut campur urusan gua , jangan so pahlawan loe" kataku dengan kepala masih menunduk.
" Loe tau gak apa yang gua rasai hah, siapa sih loe, kenal aja gua kagak. Loe liat gua sekarang, gua mesti nanggung penderitaan seberat ini, hati gua penat, hidup gua gak ada lagi harapan, kenapa loe gak biarin gua mati hah, GUA PENGEN MATI " teriaku seolah tak menghargai kebaikanya.
  " Maaf kalo tindakan gua tadi salah,  tapi kalo loe mau mati, ya mati aja. Hidup itu cuma sekali gan, sedangkan mati itu udah pasti. Tinggal loe pilih aja, mau mati gak berguna dengan hati yang gak tenang dan penuh kebencian. Atau mau mati dengan bahagia meninggalkan karya yang mempesona."
Luar biasa. Kata- katanya mematahkan segala argumenku yang membenarkan tindakan konyol tadi. Mulutku terbungkam seribu bahasa. Lidahku menjadi kelu. Butiran air menetes di sela-sela mataku, mengalir lembut di pipi. Tangisku semakin terisak-isak tak tau lagi apa yang harus ku lakukan.
  Lelaki itu mengulurkan tangannya seraya berkata
"nama gua Rahim, panggil aja 'Aim' ".
Sejenak aku terdiam, membiarkan ucapannya menggantung di udara.
" gua karima,    loe bisa panggil gua 'Rima' ". Suaraku memecah keheningan
Tangan kami saling berjabatan.

Malam itu adalah titik perubahanku. Aku mulai menata kembali hidupku. Mulai Merubah cara pandangku tentang kehidupan ini. Merancang ulang segala mimpi dan cita-citaku.
  
   Kawan, hidup ini terlalu singkat kalau hanya di isi dengan kebencian dan penyesalan. Sedangkan mereka yang kita temui suatu saat akan pergi juga. Sungguh sesak hati ini kalau mereka telah pergi namun hati tak sempat mengungkapkan kalau " kita mencintainya ".

By. Rizkipensilhitam

 
 

CINTA DIKEBUN JERUK 2

  Pagi itu sebercik kehangatan menelusuk ke sela-sela pori-pori. Kehangatan sang matahari yang masih terbiaskan embun pagi yang begitu tebal. Pemuda itu berjalan pelan menelusuri jalan setepak di antara hijaunya daun padi. Ia kini menggegas langkahnya dan besiap meloncat, yaapp, satu batu besar di antara jalan setapak di langkahinya. Jalannya kini terhati-hati di antara derasnya air sungai melangkah di bebatuan sungai. Ia tak berhenti sejenak, seperti kemaren. Langsung bergegas ke kebun.
  Kebun jeruk  yang tersusun rapi terlihat menawan. Kebun jeruk ini memang terletak di pinggir sungai, jadi suasana sejuk selalu terasa. Tak ada pagar ataupun pembatas diantara sungai dan kebun. Kalo hendak ke kebun dali selalu melewati sungai ini, walau seharusnya ia memutar lewat jembatan di sebelah hilir sungai dan masuk ke kebun lewat depan. Ia lebih suka lewat sini lebih sejuk dan nyaman.
  Saung _yang terletak di tengah kebun dengan desain tradisional  dan beratapkan injuk_ ini satu satunya tempat berteduh kalau badan mulai terasa lelah. Dindingnya terbuat dari bilik bambu dengan sebagian ruangan yang sengaja di biarkan terbuka. Bangunan sederhana ini memiliki dua ruangan, ruangan dalam dan ruangan luar. Di dalanya di fungsikan sebagai dapur dan ruangan luar sebagai tempat istirahat dan bersantai atau juga sesekali di gunakan untuk rapat.
   Pemuda ini meletakan peralatan yang ia bawa di samping saung. Tangannya kini mengenakan sarung tangan yang terbuat dari karet. Kepalanya sudah terpasang cetok untuk penghalang dari teriknya sengatan matahari. Ia mekangkah, hendak memeriksa semua kebun jeruknya. Tiba­-tiba suara yang tak ia kenal menyapanya
“ hey “.
 Sapa seorang gadis sambil bergerak menuju dali.
 Yang di sapa tak menjawab. Hanya menengaokan kepalanya seoalah melihat gadis kampung yang tak penting. Paling juga mau minta sedikit jeruk fikirnya.
  Gadis _dengan rambut coklat yang di ikat kebelakng serta mengenakan topi di kepalanya dan memakai kemeja yang kancingnya sengaja tak di kancingkan serta kaos putih bertuliskan virgin juga memakai celana jeans yang robek-robek_ ini terlihat tomboi sekali. Bagaimana dali tidak berfikir gadis ini gadis kampung. Juga terlihat dari cara jalannaya yang kayak lelaki.
  “ ada apa neng?. Kalo mau minta jeruk saya belum metik, nie baru aja mau meriksa. Kalo mau beli jangan di sini, di pasar aja sanah, di sini gk jual eceran sekilo dua kilo neng”
 “ NONG NANG NENG NEEEENG, emang loe fikir gua es nong nong apa”
Ketus si gadis dengan nada kesal.
 “ aduuh maaf neng eh teh, saya lagi buru-buru ya, entar saya kasih deh sebungkus, saya harus kerja dulu teh, memeriksa seluruh kebun jeruk ini”
“ eh , apa loe bilang, tadi loe ngatain gua es nong nong sekarang loe bilang tuh tah teh teeh, apaan tuh emang gua teh botol apa”
Si gadis semaki kesal.
“ yaudah deh mpok, saya berangkat dulu”
Ketus dali gak peduli sambil nyelonong pergi.
“ eih, tunggu-tunggu gua ikut dong”
Kata si gadis sambil mengikuti langkah dali.
  Hari ini kebetulan hari panen. Di kebun yang berurukuran tiga ribu meter persegi ini terdapat empat ratus pohon jeruk. Di setiap sudut terlihat titik-titik orange di antara hijaunya dedaunan. Dali melihat-lihat jeruk, memeriksa lalu memetik sebagian yang lain. Sementara si gadis hanya memperhatikan dan sesekali bertanya.
“ kenapa gak loe petik semuanya, kan yang tadi juga udah sama warnanya tuh” tanya si gadis dengan nada polosnya.
 “ tau apa kamu soal jeruk, ya terserah saya dong, saya yang nanam, saya  yang ngurus, saya juga yang metik, jadi mau metik yang mana aja ya terserah saya”. Ketus dali tanpa menoleh ke arah si gadis sedikitpun. Walau sebenarnya ia memetik jeruk tentunya dengan teorinya.
 “ eih dasar kolot luh. gitu aja marah-marah” .
  Dali segera melangkah dari satu pohon ke pohon yang lain. sementara si gadis mengekor di belakangnya. Mata si gadis sesekali memperhatikan wajah dali yang penuh dengan peluh keringat. Tangannya memeriksa salah satu buah jeruk yang sudah matang, meniru apa yang di kerjakan dali tadi.
“yang ini sudah boleh di petik belum bang?”
 tanyanya agak sedikit sopan.
“coba lihat”.
 Jawab dali sambil melihat jeruk yang hendak di petik oleh si gadis.
 “ boleh, petik saja terus masukin ke keranjang” jawab dali setelah sedikit penelitian.
 “ oke thanks ya, gua petik ya”.

 Sinarnya tepat berada di atas segaris dengan kepala. Keranjang yang tadi terlihat kosong kini telah penuh dengan buah jeruk yang segar. Mereka berdua segara menepi ke saung melepaskan sedikit lelah di bawah teduhnya atap injuk. Dali membaringkan tubuhnya di lantai yang terbuat dari papan sementara si gadis duduk manis di sampingnya.

bersambung...