Malam
hampir berlalu. Fajar sodik sudah terlihat di ufuk timur.dingin menyelimuti
ruang udara. Di tambah semilir angin membuat mata malas unuk melihat. Pengennya
merem lagi ,mimpi lagi. Ya hanya mereka yang di rahmati allah yang bangkit
menyampurnakan wudhu nya. Lalu melangkahkan kaki menyambut seruan kemenangan.
Suara bedug di pukul dengan nada naik turun
oleh marbot mesjid, memecah keheningan malam yang hampir berrakhir. Suara adzan
di kumandangkan dengan nada klasik sama si kakek yang tadi memukul bedug. Maklum
di kampung ini pemukul bedug sama muadzin seolah jadi pusaka yang hanya di
wariskan kalau orangnya sudah meninggal. Macam raja saja . tapi memang seperti
itulah kenyataannya. Satu dua orang mulai berdatangan . namun hanya satu, dua,
ya Cuma dua orang yang datang . satu pak imam yang sudah tua renta. Satunya
lagi tukang sapu-sapu di halaman mesjid. Jadi jumlah mereka tiga orang. Eih , seharusnya empat sih kalau saja pak
haji tak sedang sakit parah dan hampir sekarat. Bagaimana kalau mereka telah
tiada?. Siapa yang akan mengisi dan menghidupkan mejid ini.? kemanakah para
pemuda yang masih sehat dan bugar.? Masihkah mereka mendengkur nyaman sementara
pangilan telah berkumandang.? Entahlah, mugnkin beberapa taun lagi msjid ini
akan menjadi tempat yang paling angker di kampung ini karena tak ada lagi yang
datang kepadanya. Atau mungkin sang pembaharu telah allah siapkan. Menyeru, membuat
jama’ah subuh sepadat jama’ah jum’at. Miris memang tapi bukan di sini kisah ini
di mulai. Bukan tentang orang tua di mesjid ini. Bukan juga tentang bedug yang sudah usang atau tentang mesjid yang kian angker. bukan. ini tentang hati yang seharusnya bahagia namun malah tertunduk kecewa.
***
Embun masih terlihat tebal. Dinginnya pun
masih terasa. Cahaya mentari terbiaskan oleh kabut. hari ini pemuda itu
berangkat lebih awal memulai aktifitasnya sebagai penjaga kebun jeruk. Langkahnya
terlihat tegap. Di raut mukanya terpancar senyuman. Dengan tas di punggung.
Juga mengenakan topi bulat di kepalanya. Namanya dali. Hari ini dua
pekerjanya izin tak bisa hadir, Jadinya
ia mesti datang lebih awal. Mumpung masih pagi, Juga biar cepet selesai.
Langkahnya kini terlihat hati hati. langkah-melangkah menyebrangi sungai yang deras nan lebar. Loncat-meloncat menyusuri
batu-batuan besar. Langkahnya kini terhenti di tengah desiran air sungai. Bukan
karna ada bahaya. Tapi ada sesuatu pemandangan nan indah yang sedang di tunggu.
Tepat ketika ia berada di tengah-tengah sungai. Di antara bebatuan yang
berjejer tak beraturan. Lalu duduk sila . menghadap ke arah hulu.
Air sungai yang mengalir deras mebentur
bebatuan besar membuat gemuruhan air yang menenangkan. Embun pagi masih melekat
di dedaunan . dan mentari yng belum lama muncul memancarkan sinanya, menyentuh
embun dan percikan air sungai, lalu terciptalah pelangi indah. Sungguh, indah
nian pemandangan itu. Sunguh, setiap mata yang melihat kan terasa teduh.
Hatipun jadi tenang.
***
Seseoamg dengan kemeja rapi putih berjalan
bergegas di antara jejeran pohon jeruk. Nafasnya sedikit tersenggal. Sesekali
menyibakan ranting yang menghadang. Matanya mencari-cari. “ itu dia” serunya
dalam hati. Lalu bergegas mendekat ke
arah pemuda yang tengah asik mengurus pohon pohon jeruk.
“ hai dali “
sapanya
seseorang dengan kemeja putih itu.
“ hai dani “
jawab dali sambil menengok dan
menghentikan pekerjaannya.
“ ada apa ? sepertinya ada sesuatu yang serius yang
harus di bicarakan” lanjutnya .
“ mari “
ajak dani sabil jalan ke arah saung.
memang di tengah kebun jeruk yang luas ini terdapat saung yang fungsinya sebagi
tempat istirahat atau sekedar tempat melepas lelah. Terbuat dari kayu jati dengan dengan atap yang terbuat
dari injuk dan lantai panggung.
“ ada berita besar yang harus kau ketahui
kawan “
kata dani yang sudah lebih awal berada di gubuk.
“ oummh. berita apa
tuh dani “
jawab dali sambil menitiksn air es jeruk ke dalam gelas.
“ kamu duduk
sajalah dulu dali”
titah dani sambil menenggak es jeruk dengan lahapnya .
“
haus apa doyan nih, ? Nih kalo mau nambah masih banyak kok”
kata dani sembari
menggoda.
Cukup sudah basa basinya kini
raut muka dani mulai serius.
Sambil
membuka laptopnya dani bercerita tentang pertemuannya di jakarta dengan
enterprener muda yang berbakat.
“ ia menawarkan akan menjalin hubungan bisnis
dengan kita dali, jeruk jeruk kita ini takan usang lalu di bagi bagikan ke
orang sekampung karna kurangnya peminat” kata dani semangat .
“ jadi apa
rencanamu Dani ?“ dengan respon dali
penuh antusias.
“ besok lusa ia akan kesini kawan, melihat seberapa baguskah
kualitas jeruk kita, nah itulah mengapa aku datang ke sini sekarang, memberi
tahu kau agar mempersiapkannya, aku prcaya pada kau kawan “
penjelasan dani
yang cukup jelas, walau itu adalah berita yang akan membuat dali harus
berangkat lebih awal dan pulang lebih sore. Tak apa lah, lagian juga tak ada
yang menantinya di rumah, tak ada siapa-siapa.
Es jeruk di gelas telah habis, hanya menyisakan bulir-bulir jeruk yang menempel di dingding teko. Dali sesekali
menengok ke arak kebun jeruk sambil memperhatikan jam yang ada di tangan dani
sambil mengerut ngerutkan matanya yang mengisyaratkan kalau ia mesti
menyelesaikan kerjaannya.
” ya ya dali, aku tau kau selalu pusing berlama lama
bicara denganku”
dani seolah hafal gerak
geerik yang di lakukan kawannya mengisyaratkan agar segera mengizinkanya segera
pergi.
Dali segera menyambung kembali pekerjaannya
yang tadi terpotong. Tangannya lincah memeriksa setiap pohon-pohon yang sedang
berbuah. Lelah benar mungkin ia hari ini. Namun sudah tak ada lagi rasa lelah di
hatinya. Seandainya malam tak ada dan manusia tak butuh istirahat, mungkin ia
tak ingin berhenti bekerja seharian. Walau sesekali ia menepi ke saung untuk
minum agar kembali segar. sengatan matahari di tengah hari bukanlah masalah
besar baginya. kalau kau lihat kulitnya dali ia nampak gelap legam karna
seringnya terbakar teriknya matahari, walau aslinya ia berkulit sawo matang.
Cukup sudah, semua pekerjaan di kebun telah
usai. Langit yang bertumpuk awan terlihat menguning di terpa sinarnya mentari
sore. Burung-burung pipit berterbangan , bergegas pulang setelah puas makan biji
padi seharian. Jendela jendela rumah
segera ditutup. Anak anak kecil bergegas pulang ke rumah msing masing takut di
marahi sama ibu mereka. Hari semakin petang. Pemuda yang kau kenal dengan nama
dali sedang menenggelamkan dirinya di sungai , di balik batu yang kalau lihat
dari atas ber bentuk hati, di antara derasnya air yang mengalir.
Malam telah tiba. Keheninngan menyergap
setiap dingding rumah yang terbuat dari bambu. Semakin larut malam semakin
dingin suhu yang menyentuh. seoalah tak ada lagi kehidupan, teraa sepi, terdengar
sunyi, walau suara jangkrik dan kodok saling bersahutan di sawah. Malam selalu
saja begitu kawan. Namun tak ada kah kau perhatikan di langit sana sungguh
berjuta rasi bintang telihat menakjubkan, berkerlap-kerlip menyisakan harapan
yang tersisa. Sungguh semakin sunyi malam yang kau saksikan, semakin dekat kau
dengan alam, terasa dekat kau dengan dirimu sendiri, sungguh tuhan pada watu
itu membukakan hijab antara dirinya dengan hambanya. Sementara di bumi manusia
malah berdengkur kencang, tertidur dengan lelapnya. Hatinya mengikuti warna
malam, gelap. Tak ada harapan . walau Harapan selalu ada menyongsing di esok
hari. Karna siang yang esok bukanlah siang yang kemaren. Karena esok adalah esok yang penuh
harapan.
bersambung...