KARIMA 2.

   Perjalanan yang sedang kita jejaki ini sesungguhnya adalah sebuah proses pembelajaran yang sebenarnya. Kalian pernah dengar ungkapan seorang Motivator yang bunyinya seperti ini
"jangan tertipu sama orang yang kebetulan sukses tapi gk sekolah, kalo pengen sukses ya harus sekolah"?
Pernah denger? Pernah ? itu lho yang selalu bilang " super sekali..." nah tau kan? Gimana menurut kalian? Super bukan? Eits, tapi ketahuilah kawan, bahwa yang hebat itu tak selalu tampak. Yang terlihat hanyalah cangkangnya saja. Sedangkan kehidupan ini adalah kelas yang nyata tapi tak tampak. Bukan karna tak terlihat oleh mata, tapi karna seringkali kita abai dan tak peduli.
  Kalian pernah dengar tentang kisahku bukan? Itu lho yang kemarin di ceritain sama si Rizki di cerpenya yang berjudul KARIMA. Tau kan?
  Namaku Karima, teman-teman dekatku sih biasanya memanggil aku dengan nama Rima , dan seperti itulah adanya kisahku. Tak berlebih. Hanya saja kisah itu belum genap menceritakan apa yang terjadi padaku, sedangkan yang tak terlihat itu lebih besar pengaruhnya dari pada yang tampak.
  Saat itu langit malam yang tak bersaput awan, menyibakan rentetan rasi bintang yang berkerlap-kerlip. Namun tak ku hiraukan sedikitpun yang ada di atas sana. Aku terlalu sibuk  dengan apa yang tengah  menusuk-nusuk hatiku, sibuk dengan hatiku yang telah robek terhancur-hancurkan, sibuk mencari-cari siapa pelakunya, namun tak ku temukan kecuali diriku sendiri. Akulah yang merobek-hancurkan hatiku yang tersayat luka. Hanya aku.
    Kakiku berdiri tegap di atas jembatan penyebrangan. Tanganku memegang pagar besi di pingirnya. Sementara mataku yang telah basah dengan linangan air mata menatap kedepan dengan kekosongan yang tanpa harapan. Ku lihat di bawah, kendara'an berlalu-lalang dengan kecepatan yang tinggi. kalau saja ada orang yang tertabrak ,mungin ia akan terpental sepuluh meter ke depan lalu mati, fikirku.
   Ya mati, Hidupku sudah tak bermakna lagi. Kebahagiaan sudah hilang tak ada yang tersisa. Semua orang seolah tak peduli lagi padaku. Bahkan Tuhan pun seperti tak pernah melihatku. Aaahk, aku benci dengan diriku sendiri. Semua yang telah ku usahakan seoalah tak ada arti. Semua prestasiku, segala perjuanganku. Tapi, bukankah memang aku selalu sendiri. Tak pernah ada yang tulus menemaniku. Mereka hanya ada di sisiku untuk kesenangan mereka saja. Ya, dari dulu aku memang selalu sendiri.
   Tiba-tiba Memoryku teringat masa-masa kecilku. Aku tinggal sendiri di rumah besar berlantai dua. Di temani pembantu juga tukang kebun. Orang tuaku sudah bercerai semenjak aku bisa mengingat sesuatu. Dan aku tinggal bersama ayah ku, lebih tepatnya tinggal di rumahnya bukan bersamanya karna ayahku selalu pulang larut malam, itu pun seminggu sekali. Lalu dengan ibuku,,, entahlah, aku tak pernah melihatnya dan tak tau ia ada di belahan bumi yang mana. Setiap hari aku selalu sendiri, selalu rindu belai kasih dari seorang ibu. Kapan aku bisa seperti kalian yang selalu bersama dengan orang yang kalian sayangi. Bahkan ketika harus sekolah pun aku selalu sendiri. Sekolah di rumah.
  Fikiranku melesat mengingat-ngingat ketika usiaku menginjak tujuh belas. Mulai memiliki teman. Saat itu aku sudah kuliah di amerika. Aku adalah mahasiswi termuda waktu itu. Namun teman-teman ku tak mampu mengusir kesepianku. Hatiku tetap tak bertaman ramai, walau hidupku di kelilingi banyak teman.
                           ***
    Malam semakin larut. Kendaraan yang berlalu-lalang mulai senggang. Tanganku mencengkram besi pagar jembatan dari belakang. Tubuhku sudah berada di bagian luar pagar jembatan. Sementara kakiku bertumpu pada lantai jembatan yang tersisa. Ku lihat di depan mobil truk melaju dengan kencang.
   Mungkin inilah waktunya aku mengakhiri hidupku. Aku sudah tak tahan lagi dengan tekanan yang sedang menimpaku. Mobil truk di depan sudah dekat.inilah waktunya.  Ku langkahkan kakiku sembari melepaskan cengkraman tanganku. Entahlah seperti apa rasanya saat itu. Ketika tubuhku melayang siap di hantam truk yang tengah melaju kencang. Tiba-tiba hatiku merasa bersalah. Ada sedikit penyesalan yang tersirat. "Ouh tuhan berikanlah aku kesempatan".
   Sebercik harapan itu muncul. Tuhan memang maha mendengar apa dang di di bisikan hambanya. Seseorang dengan rambut acak-acakan yang kebetulan lewat, sedari tadi telah memperhatikan gerak-gerikku. Ia berlari cepat ketika aku mulai bersiap untuk loncat. Dan tangannya dengan sigap mencengkram tanganku yang sudah pasrah seolah tak ada harapan. Kemudian di tanganku ditariknya hingga sampe ke atas. Terlambat saja satu detik mugkin aku hanya tinggal nama.
   Tuhan itu selalu ada dimana pun kita berada, walau di dalam malam yang gelap di atas batu yag hitam legam, tuhan selalu memperhatikan. Hanya saja kita yang terlalu angkuh untuk mengakuinya.
   Lelaki dengan rambut acak-acakan itu kini berdiri di depanku. Matanya seola keheranan menatapku. Aku malu untuk menatapnya. Di mataku masih tergerai air mata. Aku juga malu untuk mengakui kalu dialah malaikat penolongku.
" loe ngapain ikut campur urusan gua , jangan so pahlawan loe" kataku dengan kepala masih menunduk.
" Loe tau gak apa yang gua rasai hah, siapa sih loe, kenal aja gua kagak. Loe liat gua sekarang, gua mesti nanggung penderitaan seberat ini, hati gua penat, hidup gua gak ada lagi harapan, kenapa loe gak biarin gua mati hah, GUA PENGEN MATI " teriaku seolah tak menghargai kebaikanya.
  " Maaf kalo tindakan gua tadi salah,  tapi kalo loe mau mati, ya mati aja. Hidup itu cuma sekali gan, sedangkan mati itu udah pasti. Tinggal loe pilih aja, mau mati gak berguna dengan hati yang gak tenang dan penuh kebencian. Atau mau mati dengan bahagia meninggalkan karya yang mempesona."
Luar biasa. Kata- katanya mematahkan segala argumenku yang membenarkan tindakan konyol tadi. Mulutku terbungkam seribu bahasa. Lidahku menjadi kelu. Butiran air menetes di sela-sela mataku, mengalir lembut di pipi. Tangisku semakin terisak-isak tak tau lagi apa yang harus ku lakukan.
  Lelaki itu mengulurkan tangannya seraya berkata
"nama gua Rahim, panggil aja 'Aim' ".
Sejenak aku terdiam, membiarkan ucapannya menggantung di udara.
" gua karima,    loe bisa panggil gua 'Rima' ". Suaraku memecah keheningan
Tangan kami saling berjabatan.

Malam itu adalah titik perubahanku. Aku mulai menata kembali hidupku. Mulai Merubah cara pandangku tentang kehidupan ini. Merancang ulang segala mimpi dan cita-citaku.
  
   Kawan, hidup ini terlalu singkat kalau hanya di isi dengan kebencian dan penyesalan. Sedangkan mereka yang kita temui suatu saat akan pergi juga. Sungguh sesak hati ini kalau mereka telah pergi namun hati tak sempat mengungkapkan kalau " kita mencintainya ".

By. Rizkipensilhitam

 
 

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

5 komentar

komentar
6 April 2016 pukul 08.35 delete

Bagus mas Rizki,ngetiknya udh ngantuk ya? Ada beberapa typo

Reply
avatar
7 April 2016 pukul 01.51 delete

Lebih dirapikan lagi biar pembacanya nyaman saat baca

Reply
avatar